DI Indonesia jumlah perempuan
lebih banyak daripada laki-laki. Jumlah duda lebih sedikit dibanding
jumlah para janda. Banyaknya janda seharusnya mendapat perhatian
tersendiri. Jadi, bukan hanya lelaki pencari jodoh yang harus melirik
para janda muda, pun pemerintah harus meliriknya.
Memikirkan janda muda tidak
harus mencarikan suami baru. Yang lebih penting, karena janda muda
juga sebagai kepala keluarga dan menanggung beban ekonomi sendiri,
maka yang harus dipikirkan adalah pendidikan anak-anaknya. Dari faktor
usia, janda muda memang masih produktif.
Oleh karena itu, pemerintah harus lebih
serius memberdayakannya. Kasus kenakalan remaja yang akhir-akhir ini
semakin marak, sebagian besar karena mereka kurang perhatian dan kasih
sayang dari kedua orang tua. Biasanya salah satu atau kedua orang tua
mereka bekerja keluar negeri, sehingga mereka kurang perhatian. Yang
menarik lagi, Kepala Keluarga Janda lebih banyak daripada Kepala
Keluarga Duda.
Hal yang menarik dikaji dari
seorang janda bukan hanya kehidupan seksnya. Yang lebih penting adalah
kehidupannya sehari-hari, terutama yang berperan sebagai kepala keluarga
dan mempunyai anak kecil. Ada beberapa janda yang benar-benar
mandiri dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Namun, tidak
sedikit janda yang menjadi beban keluarga lain (keluarga asal).
Tahun 2010, Biro Pusat Statistik (BPS)
memperkirakan bahwa di Indonesia terdapat 65 juta keluarga. Nah , 14% (9
juta)-nya dikepalai oleh perempuan. Padahal, data SUSENAS tahun 2007
menunjukkan jumlah perempuan yang (terpaksa) menjadi kepala keluarga
hanya 13,60% dari populasi keluarga.
Dengan demikian, rumah tangga yang
dikepalai perempuan ada kecenderungan peningkatan, yaitu rata-rata 0,1%
per tahun. Berdasar data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil,
jumlah penduduk Kabupaten Banyuwangi 1,613,786 jiwa; laki-laki 799,214
jiwa dan perempuan 814,572 jiwa. Dengan jumlah jiwa sebanyak itu,
jumlah kepala keluarga tercatat 603,382. Oleh karena itu, di Kabupaten
Banyuwangi diperkirakan ada sekitar 84.473 kepala keluarga perempuan.
Hingga ini belum ada langkah konkret
dari pemerintah dalam menangani permasalahan keluarga yang dikepalai
seorang perempuan; baik yang karena tidak ada suami maupun karena suami
tidak mampu menjadi kepala keluarga atas suatu sebab. Padahal, 14%
bukanlah angka yang sedikit. Menjadikan para janda sebagai istri kedua
atau ketiga bukanlah penyelesaian yang baik. Sebab, tidak jarang
keluarga yang memiliki istri lebih dari satu melahirkan problem yang
tidak kalah rumit.
Para janda muda kadang (terutama yang
ditinggal mati suami) memang mempunyai rumah tinggalkan mantan suaminya.
Namun demikian, meskipun dia tidak punya penghasilan-pasti dan cukup
untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, tapi dia tidak dicatat
sebagai keluarga miskin. Jadi, tidak pernah mendapat bantuan, baik dari
pemerintah maupun dari masyarakat.
Perkembangan perempuan sebagai kepala
keluarga lebih sering terjadi akibat perceraian. Di Kabupaten Banyuwangi
pada tahun 2010 terdapat 5.505 kasus perceraian. Dari jumlah
tersebut, 3.423 adalah gugatan perceraian, yaitu yang mengajukan
perceraian adalah pihak istri. Setelah perceraian tersebut, sebagian
mantan istri belum menikah lagi. Maka dia harus menanggung beban hidup
diri dan anak. Sebab, kebanyakan anak ikut ibu.
Problem lain yang sering timbul dalam
keluarga yang dikepalai seorang perempuan adalah anak-anak kurang kasih
sayang. Sebab, sang kepala keluarga, yakni ibu, selalu
bekerja. Sehingga, waktu yang tercurah untuk anak anaknya berkurang,
apalagi ada (yang terpaksa) bekerja keluar negeri dan sang anak diasuh
sang nenek.
Meskipun biaya pendidikan dan kesehatan
tercukupi, tapi kurang kasih sayang berdampak serius
terhadap perkembangan psikologis anak. Tentu itu akan berakibat pada
perkembangan sumber daya manusia yang tidak mungkin dapat
diperbarui. Meskipun masyarakat dapat menerima sebuah keluarga dikepalai
seorang perempuan, tapi jika sang kepala keluarga itu membutuhkan
bantuan, maka akan timbul masalah sosial yang kadang berujung kepada
masalah moral bagi yang membantu. Apalagi, yang membantu adalah seorang
laki-laki, walaupun sebenarnya tujuannya baik.
Beberapa pengajuan pernikahan melalui
Kantor Urusan Agama, tren pernikahan di usia muda (bahkan di bawah umur
yang harus mendapatkan Dispensasi dari Pengadilan Agama) cenderung
meningkat. Begitu juga dengan pasangan yang menikah karena keterpaksaan
(hamil duluan). Hal itu akan berdampak pada kualitas rumah tangga. Dari
beberapa kasus pernikahan di bawah umur, banyak yang mengalami
kegagalan, bahkan ada yang cerai sesaat setelah anak pertama lahir.
Barang kali pihak laki-laki dapat
melanjutkan study. Namun, pihak perempuan akan sangat riskan bila
setelah rumah tangganya gagal dia kembali ke bangku sekolah. Apalagi,
dia juga harus merawat anaknya yang masih balita. Penanggulangan
kemiskinan sepertinya belum secara spesifik menyentuh persoalan keluarga
yang dikepalai perempuan. Terutama, janda-janda yang masih muda yang
masih mempunyai anak kecil.
Meskipun saat ini ada koperasi khusus
perempuan, tapi masih bersifat perempuan secara umum dan belum
mengkhusus kepada perempuan yang bertindak sebagai kepala keluarga.
Padahal, keluarga yang dikepalai perempuan (terutama yang miskin) dan
mempunyai anak usia sekolah lebih membutuhkan perhatian daripada
janda-janda tua. Persoalan yang sering muncul adalah janda-janda muda
sebagai kepala keluarga sebagian besar masih mempunyai tempat tinggal
yang layak, sehingga dianggap tidak memenuhi kriteria sebagai warga
miskin.
Meskipun sebetulnya tempat
tinggal tersebut adalah peninggalan mantan suaminya. Tempat tinggal yang
layak tersebut mengakibatkan janda-janda muda tersebut tidak dianggap
warga miskin, sehingga banyak janda muda yang luput dari bantuan
pemerintah. Padahal, mereka sangat membutuhkan bantuan untuk
anak-anaknya, terutama bantuan biaya pendidikan.(O l e h|SYAFA’AT, SH,
MHI @ radar)