Daftar Isi Cerobong

Sejarah Adanya Pelacuran Di Indonesia

Personality atau kepribadian sebenarnya berasal dari kata personal yang berakar pada kata persona yang berarti topeng. Ketika seseorang dikatakan sebagai sosok berkepribadian, maka orang tersebut memiliki kemampuan untuk menopengi dirinya yang asli agar dapat beradaptasi pada situasi dan kondisi tertentu. Oleh karena itu, setiap orang, siapapun dia, selalu mengenakan topeng, suka maupun tidak suka. Dengan bertopeng, identitas seseorang dapat dikaburkan dan jati dirinya dapat disamarkan. Hidup akhirnya menjadi penuh kebohongan dan kemunafikan.

Bagaimana dengan persona para pelacur? Karena pelacuran belum dapat (atau mungkin tidak akan pernah) diterima masyarakat, maka pelacur mengharuskan dirinya untuk bertopeng tebal guna merahasiakan jati dirinya yang sesungguhnya. Olesan gincu, taburan bedak, dan pernak pernik perhiasan, merupakan cara untuk menarik perhatian sekaligus menyembunyikan hakikat jati dirinya.



Menurut beberapa sumber sejarah, pelacuran di Indonesia telah terjadi sejak zaman kerajaan Majapahit. Salah satu bukti yang menunjukkan hal ini adalah penuturan kisah-kisah perselingkuhan dalam kitab Mahabarata. Pada zaman kerajaan Mataram, pelacuran malah semakin meningkat. Label daerah “plesiran” yang disandangkan pada Wonogiri dan Wonosari dapat dijadikan sebagai bukti. Pelacuran di Indonesia semakin berkembang pada masa kolonial. Pada abad ke-19 permintaan layanan seks meningkat pesat. Pelacuran di Indramayu dan Karawang diperkirakan telah terjadi sejak proses pembuatan jalan dimasa kekuasaan Deandles tahun 1820-an dan pembuatan rel kereta api tahun 1825-an. Pelacuran di Pati dan Jepara diperkirakan berkembang pada saat diberlakukannya Hukum Agraria tahun 1870 pada masa penjajahan Portugis. Adanya benteng Portugis di daerah antara Pati dan Jepara menunjukkan adanya migrasi temporer bangsa Portugis.

Peningkatan layanan pelacur menyebabkan penyebaran penyakit kelamin menular dengan cepat pada tahun 1900-an. Sejumlah riset menyatakan bahwa jumlah pelacur di Jakarta saja, pada tahun 1917, sekitar tiga ribu sampai empat ribu orang. Semasa penjajahan Jepang tahun 1941-1945, jumlah dan kasus pelacuran semakin berkembang. Banyak remaja yang dipaksa menjadi pelacur untuk melayani tentara Jepang. Perkembangan pelacuran pada saat itu tidak hanya di pulau Jawa, tetapi sudah meluas hingga Sulawesi. Di Sulawesi Selatan misalnya, pada tahun 1942 diperkirakan terdapat 29 rumah bordil yang dihuni oleh lebih dari 280 pelacur.

Masalah pelacuran di Indonesia semakin rumit seiring tingginya mobilitas perpindahan pendudukan. Tahun 1970, pemerintah Indonesia banyak mendirikan industri penyulingan minyak. Keberadaan penyulingan-penyulingan baru tersebut meningkatkan pula kebutuhan tempat-tempat hiburan seperti karaoke, diskotek, dan penginapan yang turut memicu peningkatan permintaan layanan pelacur. Pada saat ini, tampaknya pelacuran telah menyebar keseluruh wilayah Indonesia. Hal ini sesuai fakta bahwa pusat lokalisasi dapat ditemukan hampir diseluruh kota di Indonesia.




(Diambil dari tulisan Prof. Koentjoro dalam buku Tutur Dari Sarang Pelacur)