1. Meretweet postingannya sendiri
Me-retweet
biasanya dilakukan agar informasi penting yang disampaikan tersebar
oleh lebih banyak orang. Namun ketika me-retweet kicauan kita sendiri
tak ada efek seperti itu. Orang-orang yang melakukan ini kemungkinan
besar punya keinginan ngetwit yang besar, namun idenya tidak datang
secepat gerak jempolnya.
2. Merindukan mention
"Ngetwit
tanpa mention bagaikan malam minggu tanpa pacar". Pada dasarnya setiap
user akan merasa bahagia jika apa yang ditwit menuai banjir mention.
Artinya twitannya sanggup memaksa teman-temannya yang jumlahnya ribuan
menanggapinya. Kadang ada beberapa user sudah berusaha habis-habisan
berusaha ngetwit keren, namun tak ada yang menggubris sehingga muncullah
istilah sedekah mention.
3. Mengganti Avatar setiap 10 menit
Memang
tidak ada berapa lama waktu ideal untuk mengganti avatar. Bahkan ada
yang menganggap avatar adalah pengenal yang tidak boleh diubah. Dengan
mengubah avatar, teman-temannya akan kesulitan mengenalinya. Avatar
menjadi seperti logo dalam sebuah brand. Sehingga ketika ia mengganti
avatarnya, ia harus melakukan branding dari awal lagi.
Mengubah avatar sesuai dengan
"tema" peristiwa yang terjadi saat ini juga menarik. Misalnya mereka
yang memperingati setahun haul mantan presiden Gus Dur memakai image
atau ilustrasi Gus Dur sebagai avatarnya. Begitu juga ketika tweeple
mempunyai tatto baru, ia merasa perlu mengganti avatarnya. Namun
bagaimana ketika seseorang mengganti avatarnya tiap sepuluh menit?
4. Mengomentari link tanpa membaca
Perlu
usaha dan energi sedikit untuk membuka sebuah link di garis waktu.
Makanya mayoritas orang (berdasar riset konon 80% tak membuka link)
langsung mengomentari atau me-retweet postingan yang ada linknya tanpa
mengeceknya. Pernah suatu kali terjadi, seseorang ngetwit dengan
mencatur akun cnn yang memberitakan sepak bola indonesia yang ketika di
klik linknya tidak ada.
5. Sensitif, selalu merasa menjadi objek pembicaraan
Twitter
adalah tempat umum, semua orang mempunyai hak yang sama dalam
menyuarakan sesuatu. Baik mengenai hal yang serius maupun "gegosipan"
internal. Namun anehnya dari kicauan yang ada di garis waktu, ada
seseorang yang sangat sensitif. Tiba-tiba ia merasa menjadi objek
pembicaraan, utamanya ketika yang diomongkan itu hal yang negatif. "Itu
ngomongin saya ya, " katanya. Padahal tak ada mention ke akun dia.
6. Selalu mememperhatikan jumlah follower
Jumlah
follower memang bukan segalanya, namun tetap dipandang lebih "seksi"
jika followernya banyak. Mayoritas pekicau diam-diam berpacu bagaimana
cara menambah followernya. Ada yang jelas-jelas meminta follow balik
dengan suka rela. Ada juga yang meminta dengan syarat. "Jika followernya
sampai jam 00:00 nanti berjumlah sekian, ia akan memasang foto
telanjangnya di avatar. Yang lain cukup meratap dengan ngetwit "kurang
sekian menuju follower ke 2000 misalnya.
7. Asal nyamber tanpa mengetahui konteks
Keterbatasan
space yang disediakan twitter yang hanya 140 karakter menyebabkan
pembicaraan rawan "kesalahpahaman". Karena beberapa pekicau masih
mereply tanpa memperhatikan apakah penerima pesan selanjutnya akan
memahami isi pesan yang disampaikan. Ketika penyebaran pesan itu sampai
pada orang ketiga atau keempat, kicauan tersebut sudah kehilangan
konteks. Beberapa pekicau ngetwit asal nyamber tanpa mengetahui konteks,
selain tidak bermanfaat, juga tidak perlu karena bisa-bisa malah
mengganggu.
sumber: http://www.tuanmuda.us/showthread.php?tid=10664