Bagaimana
mengukurnya? Para ilmuwan menganalisa lebih dari empat miliar kata yang
diposting sekitar 63 juta pengguna Twitter di seluruh dunia. Mereka
mengkategorikan lebih dari 46 miliar kata yang berhubungan dengan emosi.
Para sukarelawan diminta untuk membaca kata-kata di tweet menggunakan
skala satu, yaitu tersedih, hingga sembilan yaitu paling bahagia.
Contohnya
adalah kata "laughter" atau tertawa, nilainya 8.5, "food" bernilai
7.44, "greed" ada di angka 3.06, dan "terrorist" di posisi 1.30. Semua
hasil kajian sudah dipublikasikan secara daring di jurnal PLoS ONE.
Hal
yang paling menyebabkan penurunan kebahagiaan tercermin dari tweet yang
berkaitan dengan kabar buruk. Tentu saja, berita tak menyenangkan yang
membuat kesedihan, misalnya kebangkrutan ekonomi pada 2008, serangan flu
burung pada 2009, kematian Michael Jackson, dan kematian Patrick
Swayze.
Tapi,
ada pula temuan menarik bahwa peristiwa budaya juga bisa menyebabkan
kemuraman di lini masa. Contohnya kekalahan Jerman di Piala Dunia 2010.
Kematian Osama bin laden tahun 2011, justru menunjukkan kesedihan
tertinggi di Twitter.
Tren
sedih ternyata tidak tahunan. Pada akhir tahun kegembiraan justru
meningkat. Tapi memasuki awal tahun baru pada 2009, 2010, dan 2011,
kebahagiaan justru turun lagi. Untuk urusan harian, Sabtu menjadi hari
paling membahagiakan di jejaring 140 karakter ini. Selain itu, Jumat dan
Ahad. Dan tak aneh, Senin dan Selasa menjadi hari tersedih tiap pekan.
Pada
periode waktu yang lebih kecil lagi, yaitu jam, pengguna Twitter justru
paling bahagia pada pagi hari. Pukul 05.00-06.00 menjadi saat paling
banyak kata-kata positif keluar. Menjelang senja, kebahagiaan menurun
hingga puncaknya pada pukul 22.00-23.00 WIB.
Bahkan
kata-kata makian dalam Twitter mempunyai siklus waktu tersendiri. Pada
pukul 01.00 adalah puncak makian di jejaring berikon burung biru ini.
Makian kemudian tenggelam seiring terbitnya matahari pada pukul
05.00-06.00.
"Pola
ini menunjukkan tahapan rata-rata, perubahan pola pikir harian
manusia," tulis Peter Dodds, peneliti sekaligus Profesor di Kampus Ilmu
Matematika dan Rekayasa Universitas Vermont, Burlington.
Nah, bagaimana dengan tweet Anda?